OLEH : DRS. KHAERUDIN
Dosen Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan FIP UNJ
Disampaikan dalam acara Workshop Kurikulum Program Diploma PGSDI dan PGTKI, yang diselenggarakan oleh Kopertais Wilayah I DKI Jakarta, 30 Juni 2001
Dosen Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan FIP UNJ
Disampaikan dalam acara Workshop Kurikulum Program Diploma PGSDI dan PGTKI, yang diselenggarakan oleh Kopertais Wilayah I DKI Jakarta, 30 Juni 2001
A. Pendahuluan
Sejak dibubarkannya Sekolah Pendidikan Guru (SPG) pada awal tahun ’90-an, penyediaan tenaga guru yang profesional sempat mengalami kevakuman. Alasan pembubaran SPG ini diantaranya adalah karena
kualifikasi lulusan SPG dianggap sudah tidak lagi memadai untuk membina dan membimbing anak-anak sekolah. Namun sayangnya pemerintah tidak segera mendirikan lembaga baru sebagai pengganti yang dianggapnya memadai untuk mendidik para guru pada tingkat TK dan SD tersebut. Padahal kebutuhan guru di masyarakat semakin banyak dengan semakin menjamurnya TK, baik itu TK umum, TK Islam, Kelompok Bermain (Play Group), dan TK Alquran serta penitipan anak. Dihampir setiap sudut kampung, saat ini, telah terdapat lembaga pendidikan jenis ini.
Dengan menjamurnya TK-TK baru, di satu sisi kondisi ini sangat menggembirakan, karena ini menunjukkan telah meningkatnya kesadaran masyarakat kita akan pentingnya pendidikan anak-anak dilakukan sejak dini. Namun sayangnya, kondisi ini tidak disertai dengan penyediaan perangkat yang memadai untuk penyelenggaraan pendidikan tersebut, baik sarana prasarana, maupun sumber daya manusianya (guru). Tidak sedikit TK yang diselenggarakan di tempat yang “seadanya” dengan guru “modal nekad”. Data hasil survey yang dilakukan penulis pada tahun 1997 (setelah hampir 9 tahun PGTK “swasta” berdiri) menunjukkan masih terdapat sekitar 16% guru TK yang tidak berpendidikan guru TK dan masih terdapat 57% mereka yang berpendidikan SPG TK, yang nota bene dijadikan sebagai alasan dibubarkannya SPG.
Untung sebagian anggota masyarakat menangkap peluang ini dan segera mendirikan PGTK, sehingga saat ini PGTK terdapat dihampir setiap kelurahan. Keberadaanyapun sangat beragam, baik dari segi sarana dan prasarananya, dan terutama program yang ditawarkan. Ada sementara PGTK yang mencoba menawarkan pendidikan dalam jangka waktu hanya enam bulan dan menjanjikannya menjadi guru profesional, dan ada juga yang program satu atau dua tahun. Keragaman juga terjadi pada kurikulum yang mereka gunakan. Untuk hal yang terakhir ini jelas akan memberi dampak pada terjadinya keragaman lulusan (guru TK) yang dihasilkan. Apabila keragaman terjadi pada jenis keahlian yang menunjukkan kekhasan guru TK dari suatu lembaga, tentu ini menyenangkan. Namun yang dikhawatirkan adalah keragaman terjadi pada kualitas lulusan/ kompetensinya, dimana diluluskan para calon guru yang tidak memadai untuk melaksanakan tugas mengajar di TK (guru “karbitan”).
Prakarsa Kopertais untuk melaksanakan workshop pengembangkan kurikulum PGTKI adalah satu usaha yang sangat tepat. Sebab dengan kegiatan ini diharapkan akan diperoleh satu kurikulum yang dapat dijadikan sebagai acuan oleh PGTKI dalam mengembangkan kurikulumnya masing-masing. Artinya penulis berpendapat bahwa kurikulum yang dikembangkan oleh Kopertais hendaknya bukanlah kurikulum yang baku, kaku dan final, tetapi kurikulum yang fleksibel namun jelas arah dan tujuannya. Kurikulum yang dikembangkan oleh Kopertais adalah kurikulum inti. Para pengelola PGTKI-lah yang akan mengembangkan kurikulum itu secara lebih spesifik sesuai dengan karakteristiknya masing-masing namun tetap ada pada jalur dan arah yang telah ditetapkan oleh Kopertais. Dengan demikian akan dihasilkan para calon guru TK yang memiliki keahlian yang berbeda dan khas dari masing-masing lembaga (PGTKI), namun tetap memiliki kompetensi dasar yang memadai sebagai guru TK Islam.
Sejak dibubarkannya Sekolah Pendidikan Guru (SPG) pada awal tahun ’90-an, penyediaan tenaga guru yang profesional sempat mengalami kevakuman. Alasan pembubaran SPG ini diantaranya adalah karena
kualifikasi lulusan SPG dianggap sudah tidak lagi memadai untuk membina dan membimbing anak-anak sekolah. Namun sayangnya pemerintah tidak segera mendirikan lembaga baru sebagai pengganti yang dianggapnya memadai untuk mendidik para guru pada tingkat TK dan SD tersebut. Padahal kebutuhan guru di masyarakat semakin banyak dengan semakin menjamurnya TK, baik itu TK umum, TK Islam, Kelompok Bermain (Play Group), dan TK Alquran serta penitipan anak. Dihampir setiap sudut kampung, saat ini, telah terdapat lembaga pendidikan jenis ini.
Dengan menjamurnya TK-TK baru, di satu sisi kondisi ini sangat menggembirakan, karena ini menunjukkan telah meningkatnya kesadaran masyarakat kita akan pentingnya pendidikan anak-anak dilakukan sejak dini. Namun sayangnya, kondisi ini tidak disertai dengan penyediaan perangkat yang memadai untuk penyelenggaraan pendidikan tersebut, baik sarana prasarana, maupun sumber daya manusianya (guru). Tidak sedikit TK yang diselenggarakan di tempat yang “seadanya” dengan guru “modal nekad”. Data hasil survey yang dilakukan penulis pada tahun 1997 (setelah hampir 9 tahun PGTK “swasta” berdiri) menunjukkan masih terdapat sekitar 16% guru TK yang tidak berpendidikan guru TK dan masih terdapat 57% mereka yang berpendidikan SPG TK, yang nota bene dijadikan sebagai alasan dibubarkannya SPG.
Untung sebagian anggota masyarakat menangkap peluang ini dan segera mendirikan PGTK, sehingga saat ini PGTK terdapat dihampir setiap kelurahan. Keberadaanyapun sangat beragam, baik dari segi sarana dan prasarananya, dan terutama program yang ditawarkan. Ada sementara PGTK yang mencoba menawarkan pendidikan dalam jangka waktu hanya enam bulan dan menjanjikannya menjadi guru profesional, dan ada juga yang program satu atau dua tahun. Keragaman juga terjadi pada kurikulum yang mereka gunakan. Untuk hal yang terakhir ini jelas akan memberi dampak pada terjadinya keragaman lulusan (guru TK) yang dihasilkan. Apabila keragaman terjadi pada jenis keahlian yang menunjukkan kekhasan guru TK dari suatu lembaga, tentu ini menyenangkan. Namun yang dikhawatirkan adalah keragaman terjadi pada kualitas lulusan/ kompetensinya, dimana diluluskan para calon guru yang tidak memadai untuk melaksanakan tugas mengajar di TK (guru “karbitan”).
Prakarsa Kopertais untuk melaksanakan workshop pengembangkan kurikulum PGTKI adalah satu usaha yang sangat tepat. Sebab dengan kegiatan ini diharapkan akan diperoleh satu kurikulum yang dapat dijadikan sebagai acuan oleh PGTKI dalam mengembangkan kurikulumnya masing-masing. Artinya penulis berpendapat bahwa kurikulum yang dikembangkan oleh Kopertais hendaknya bukanlah kurikulum yang baku, kaku dan final, tetapi kurikulum yang fleksibel namun jelas arah dan tujuannya. Kurikulum yang dikembangkan oleh Kopertais adalah kurikulum inti. Para pengelola PGTKI-lah yang akan mengembangkan kurikulum itu secara lebih spesifik sesuai dengan karakteristiknya masing-masing namun tetap ada pada jalur dan arah yang telah ditetapkan oleh Kopertais. Dengan demikian akan dihasilkan para calon guru TK yang memiliki keahlian yang berbeda dan khas dari masing-masing lembaga (PGTKI), namun tetap memiliki kompetensi dasar yang memadai sebagai guru TK Islam.
B. PGTKI ?
Sebagaimana kita ketahui PGTKI merupakan singkatan dari Pendidikan Guru Taman Kanak-kanak Islam. Dari namanya kita bisa menebak lembaga pendidikan apa itu. PGTKI adalah sebagai lembaga pendidikan yang berciri khas keagamaan (Islam) yang mendidik dan melatih para calon guru taman kanak-kanak. Dengan “embel-embel” kata “Islam” pada nama PGTK, ini menunjukkan bahwa PGTK Islam berbeda dengan PGTK “umum” yang ada di UNJ, misalnya. Hanya masalahnya, apakah yang membedakan itu hanya pada nama ? tentunya tidak. Perbedaan tersebut harus ada pada esensinya yang tergambar dalam program dan proses penyelenggaan pendidikan di PGTK tersebut. Dengan kata lain, PGTK Islam adalah lembaga pendidikan tenaga kependidikan yang diselenggarakan secara islami, yang menghasilkan para guru TK yang berkarakter islami. Hal ini akan terwujud apabila kurikulum yang digunakan di lembaga tersebut juga kurikulum yang islami. Hal senada dikemukakan oleh Fathiyah Hasan Sulaiman dalam bukunya Sistim Pendidikan Versi Al-Ghazaly (1986). Bahwa ciri khas Pendidikan Islam terdapat pada sifat moral religius yang nampak jelas dalam tujuan yang ingin dicapai dan sarana dan prasarananya tanpa mengabaikan masalah-masalah duniawi. Lebih jauh ciri khas keislaman hendaknya tampak pada faktor-faktor lain dalam penyelenggaraan PGTK Islam, seperti manajemen, dosen, dan pimpinan PGTKI tersebut.
Karakter lain dari PGTKI adalah pada saat ini masih berjenjang diploma. Ini berarti bahwa PGTKI adalah lembaga pendidikan profesional dan bukan pendidikan akademik. Sebagai lembaga pendidikan profesional, PGTKI akan mendidik para mahasiswanya menjadi praktisi yang terampil dalam bidang pendidikan anak-anak. Proses pendidikan ditekankan pada penguasaan kemampuan praktis dan tidak pada penguasaan dasar teori yang terlalu rumit dan mendalam. Karakter ini juga harus tergambar dalam kurikulum PGTKI.
Sebagaimana kita ketahui PGTKI merupakan singkatan dari Pendidikan Guru Taman Kanak-kanak Islam. Dari namanya kita bisa menebak lembaga pendidikan apa itu. PGTKI adalah sebagai lembaga pendidikan yang berciri khas keagamaan (Islam) yang mendidik dan melatih para calon guru taman kanak-kanak. Dengan “embel-embel” kata “Islam” pada nama PGTK, ini menunjukkan bahwa PGTK Islam berbeda dengan PGTK “umum” yang ada di UNJ, misalnya. Hanya masalahnya, apakah yang membedakan itu hanya pada nama ? tentunya tidak. Perbedaan tersebut harus ada pada esensinya yang tergambar dalam program dan proses penyelenggaan pendidikan di PGTK tersebut. Dengan kata lain, PGTK Islam adalah lembaga pendidikan tenaga kependidikan yang diselenggarakan secara islami, yang menghasilkan para guru TK yang berkarakter islami. Hal ini akan terwujud apabila kurikulum yang digunakan di lembaga tersebut juga kurikulum yang islami. Hal senada dikemukakan oleh Fathiyah Hasan Sulaiman dalam bukunya Sistim Pendidikan Versi Al-Ghazaly (1986). Bahwa ciri khas Pendidikan Islam terdapat pada sifat moral religius yang nampak jelas dalam tujuan yang ingin dicapai dan sarana dan prasarananya tanpa mengabaikan masalah-masalah duniawi. Lebih jauh ciri khas keislaman hendaknya tampak pada faktor-faktor lain dalam penyelenggaraan PGTK Islam, seperti manajemen, dosen, dan pimpinan PGTKI tersebut.
Karakter lain dari PGTKI adalah pada saat ini masih berjenjang diploma. Ini berarti bahwa PGTKI adalah lembaga pendidikan profesional dan bukan pendidikan akademik. Sebagai lembaga pendidikan profesional, PGTKI akan mendidik para mahasiswanya menjadi praktisi yang terampil dalam bidang pendidikan anak-anak. Proses pendidikan ditekankan pada penguasaan kemampuan praktis dan tidak pada penguasaan dasar teori yang terlalu rumit dan mendalam. Karakter ini juga harus tergambar dalam kurikulum PGTKI.
C. Kurikulum PGTKI Sebagai Suatu Sistem
Untuk memudahkan pemahaman dan pengembangan kurikulum, penulis akan melihat dan menganalisis kurikulum dengan pendekatan sistem (System Approach). Dengan menggunakan pendekatan ini maka kurikulum dapat dipandang sebagai suatu sistem. Artinya kurikulum itu terdiri dari sejumlah komponen yang saling terkait, bekerja sama dan saling mempengaruhi untuk mencapai tujuan. Salah satu ciri dari sistem adalah apabila ada salah satu komponen yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya maka tujuan tidak akan tercapai dengan baik.
Sebagai suatu sistem kurikulum terdiri dari komponen tujuan, materi, strategi dan evaluasi. Dengan demikian maka pengembangan kurikulum dilakukan dengan cara mengembangkan komponen-komponen tersebut secara sistemik. Artinya pengembangan dimulai dengan mengembangkan tujuan dan dilanjutkan dengan komponen-komponen lainnya. Dengan pendekatan sistem ini, komponen tujuan dikembangkan terlebih dahulu, karena komponen ini akan menjadi acuan dalam pengembangan komponen-komponen lainnya.
Untuk memudahkan pemahaman dan pengembangan kurikulum, penulis akan melihat dan menganalisis kurikulum dengan pendekatan sistem (System Approach). Dengan menggunakan pendekatan ini maka kurikulum dapat dipandang sebagai suatu sistem. Artinya kurikulum itu terdiri dari sejumlah komponen yang saling terkait, bekerja sama dan saling mempengaruhi untuk mencapai tujuan. Salah satu ciri dari sistem adalah apabila ada salah satu komponen yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya maka tujuan tidak akan tercapai dengan baik.
Sebagai suatu sistem kurikulum terdiri dari komponen tujuan, materi, strategi dan evaluasi. Dengan demikian maka pengembangan kurikulum dilakukan dengan cara mengembangkan komponen-komponen tersebut secara sistemik. Artinya pengembangan dimulai dengan mengembangkan tujuan dan dilanjutkan dengan komponen-komponen lainnya. Dengan pendekatan sistem ini, komponen tujuan dikembangkan terlebih dahulu, karena komponen ini akan menjadi acuan dalam pengembangan komponen-komponen lainnya.
1. Pengembangan Tujuan Institusional (PGTKI)
Mengingat pengembangan kurikulum dilakukan untuk tingkat kelembagaan (PGTKI), maka kurikulum yang dikembangkan disebut dengan kurikulum pada tingkat institusional. Dalam kurikulum pada tingkat ini tujuannya disebut dengan tujuan institusional. Di dalam rumusan tujuan ini akan tergambar kemampuan apa yang harus dimiliki oleh para mahasiswa pada saat mereka menyelesaikan pendidikannya di PGTKI tersebut.
Proses pengembangan tujuan institusional harus dilakukan secara hati-hati, dan harus mencakup kemampuan yang komprehensif. Karena komponen ini akan mempengaruhi pada pengembangan komponen lainnya. Dilihat dari isi, kemampuan yang tergambar dalam rumusan tujuan harus mencakup aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Artinya dalam rumusan tujuan itu harus terumuskan secara eksplisit pengetahuan-pengetahuan dan keterampilan apa saja yang harus dimiliki oleh para guru TK untuk melaksanakan tugasnya, mengajar. Demikian juga sikap yang bagaimana yang harus selalu ditunjukkan dalam gerak-gerik guru dalam kehidupannya sehari-hari, baik pada saat di rumah terutama di “sekolah”.
Bagaimana tujuan institusional dirumuskan ?
Agar mendapatkan rumusan tujuan yang baik, maka perumusan tujuan harus didasarkan pada kajian tentang landasan filosofis dan aspek-aspek sosiologis yang berkembang dalam masyarakat tempat kurikulum itu akan dilaksanakan. Landasan filosofis dalam pengembangan kurikulum akan memberi dasar yang kuat tentang manusia yang diharapkan dihasilkan melalui pendidikan. Kajian-kajian filosofis dilakukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan, misalnya, manusia yang bagaimanakah yang disebut manusia yang baik dan berguna; guru yang bagaimana yang dikategorikan sebagai guru yang baik; apa fungsi pendidikan (sekolah) bagi masyarakat, bagaimana kedudukan manusia di jagat raya ini, dan lain sebagainya. Karena kajian filosofis ini dilakukan untuk kepentingan dunia pendidikan, maka filsafat yang digunakannyapun tentunya filsafat pendidikan.
Banyak aliran filsafat pendidikan yang bersumber dari hasil pemikiran para filosof dari barat. Filsafat pendidikan esensialisme, perenialisme, progresivisme, dan rekonstruksionisme, adalah diantara filsafat-filsafat pendidikan yang cukup berpengaruh dalam dunia pendidikan. Namun karena kurikulum yang ingin kita kembangkan adalah kurikulum yang islami, maka filsafat yang dijadikan dasarnya juga harus bersumber pada nilai-nilai ajaran islam yang termuat dalam sumber utamanya yaitu quran dan hadist.
Beberapa falsafah Al-quran Al-Karim – sebagaimana dikemukakan oleh Dr. Mohamad Fadhil El-Jammaly (Sulaiman, 1986) – yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam merumuskan tujuan pendidikan adalah :
a. Al-quranul Karim memandang manusia dan jagat raya adalah sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan demikian juga dengan penciptanya.
b. Manusia merupakan perpaduan antara akal, emosi dan perbuatan.
c. Perkembangan manusia hendaknya meningkat dan menanjak ke arah cita-cita yang tinggi dan kehidupan yang ideal, yaitu kehidupan yang terpuji dan sempurna.
Beberapa falsafah di atas dirangkum menjadi ciri dan inti dari pendidikan Islam adalah usaha untuk mencapai ketinggian spiritual, moral, sosial, kreativitas, dan intelektual manusia. Berdasarkan pada falsafah ini beberapa ahli pendidikan Islam mencoba merumuskan tujuan pendidikan Islam yang bersifat umum. Prof. Mohd. Athiya El-Abrasyl dalam kajiannya tentang pendidikan Islam menyimpulkan lima tujuan yang asasi bagi pendidikan Islam, yaitu :
a. Untuk membantu pembentukan akhlak yang mulia,
b. Persiapan untuk kehidupan di dunia dan akhirat,
c. Persiapan untuk mencari rizki dan pemeliharaan segi-segi kemanfaatan,
d. Menumbuhkan roh ilmiah pada pelajar dan memuaskan keinginan arti untuk mengetahui dan memungkinkan ia mengkaji ilmu sekedar sebagai ilmu,
e. Menyiapkan pelajar dari segi profesional, teknis dan perusahaan (Al-Syaibani, 1979).
Sementara Imam Ghazaly menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah mengarahkan para siswa untuk mencapai dua tujuan, yaitu :
a. Insan purna yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah Swt.
b. Insan purna yang bertujuan mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat (Sulaiman, 1986).
Di samping membantu merumuskan tujuan secara filosofis dan masih bersifat umum, kajian filsafat ini juga akan membantu menetapkan peran lembaga pendidikan dalam konteks “kebudayaan” masyarakat. Apakah kita akan meletakkan lembaga pendidikan itu (PGTK) sebagai lembaga pengawet/pelestari/ pewaris “kebudayaan” masyarakat yang telah ditemukan dan berkembang, atau sebagai agen pembaharu (agent of change), atau bahkan kita akan mencoba memerankan kedua-duanya. Bila kita mencoba meletakkan peran lembaga pendidikan sebagai pengawet kebudayaan dan sekaligus sebagai agen pembaharu, maka kita pun harus mampu menentukan kebudayaan-kebudayaan mana yang memang harus tetap dipertahankan. Satu hal yang harus diperhatikan adalah apabila kita mempertahankan suatu kebudayaan jangan sampai menghambat untuk melaksanakan peran yang lain, yaitu sebagai agen pembaharu.
Sebagai agen pembaharu maka kampus akan menjadi motor perubahan untuk mengatasi kemandekan-kemandekan yang terjadi dalam masyarakat. Kampus harus menjadi lembaga penghasil “orang baru” yang akan melakukan perubahan-perubahan ke arah yang lebih baik. Dengan peran ini yang diperlukan oleh seorang mahasiswa bukan hanya penguasaan kemampuan yang bersifat kognitif, tetapi yang paling penting adalah tumbuhnya sikap dan keberanian untuk melakukan perubahan itu.
Selain mengacu pada pandangan-pandangan filosofis, proses perumusan tujuan juga harus memperhatikan kondisi masyarakat pada saat para mahasiswa lulus dan memasukinya. Hal ini penting mengingat pada saat mereka lulus mereka harus berkiprah dan berperan aktif dalam membangun masyarakatnya. Apabila kemampuan yang mereka miliki tidak sesuai dengan kondisi masyarakat maka mereka tidak akan mampu melakukan apa-apa, dan lahirlah apa yang disebut dengan para penganggur intelek.
Aspek-aspek yang harus mendapat perhatian dalam masyarakat diantaranya adalah tuntutan dunia kerja dengan berbagai persyaratannya, berbagai peluang dan tantangan/ancaman yang mungkin dihadapi, perubahan-perubahan dalam bidang iptek yang mempengaruhi sendi-sendi kehidupan masyarakat, pertumbuhan penduduk yang cepat, perubahan karakteristik masyarakat dari worker society menjadi employee society, dari masyarakat “proletariat” menjadi masyarakat “cognitariat” (Toffler) atau masyarakat belajar “learning society” (Peter M. Senge, 2000), dan terjadinya eksplosi informasi karena pengaruh perkembangan information technology (IT) yang sangat cepat yang didorong oleh perkembangan teknologi komunikasi dan komputer.
Melihat berbagai perubahan di atas, yang lebih penting adalah melihatnya pada dimensi waktu yang akan datang. Tepatnya saat dimana para lulusan memasuki dunianya. Sebagai contoh, bila saat ini kita akan mendidik calon guru TK dengan program diploma dua tahun, maka kita harus mempersiapkan mereka dengan berbagai kemampuan (pengetahuan, keterampilan, sikap, kreativitas, emosi, dan religi) yang diperlukan mereka dalam menghadapi berbagai kondisi di atas yang akan terjadi pada tahun 2003. Dilihat dari aspek “peluang dan tantangan/ ancaman”, misalnya. Sebagaimana kita ketahui pada tahun 2003 mulai diberlakukan AFTA. Ini berarti disatu sisi mereka akan memiliki peluang yang sangat luas untuk mendapatkan pekerjaan dengan pengahasilan yang lebih besar, karena wilayah untuk mendapatkan pekerjaan tersebut semakin luas, bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di negara-negara anggota AFTA lainnya, seperti Malaysia, Singapura, Brunei atau Filipina. Namun di sisi lain, kondisi ini justru menjadi tantangan dan sekaligus ancaman bagi mereka untuk mendapatkan pekerjaan, karena pada saat itu para pekerja (guru) dari negara anggota AFTA juga dapat dengan leluasa memasuki pasaran kerja di Indonesia. Di sini akan terjadi persaingan yang ketat, dan kita tahu akhirnya hanya mereka yang berkualitaslah yang akan memenangkan persaingan itu. Dengan kata lain bagaimana kita menyiapkan para guru TK kita yang berkualitas dan mampu bersaing dengan para guru dari negara anggota AFTA lainnya.
Jawaban atas pertanyaan di atas, dan dengan mengacu pada kajian-kajian di atas, maka dirumuskanlah Visi, Misi, dan Tujuan dari lembaga pendidikan guru TK. Visi adalah cita-cita akhir yang diharapkan akan tercapai di masa depan yang jauh, yang sesuai dengan atau merupakan suatu pandangan hidup, atau bagian dari pandangan hidup (Tampubolon, 2000). Pengertian ini sejalan dengan pendapat Jansen H. Sinamo (1998) yang mengatakan visi adalah apa yang kita dambakan – dalam hal ini secara organisasional – untuk kita miliki atau peroleh di masa depan (what do we want to have). Sementara misi adalah tugas pokok yang akan dilaksanakan untuk merealisasi visi (Tampubolon, 2000). Sementara Sinamo menyatakan misi adalah dambaan tentang kita ini ingin menjadi apa di masa depan (what do we want to be).
Pertanyaan selanjutnya adalah apa dan bagaimana merumuskan tujuan pendidikan guru TK ?
Secara umum dapat dikatakan bahwa rumusan tujuan pendidikan TK harus memperhatikan pemikiran-pemikiran filosofis para filosof Islam dan berbagai kecenderungan perubahan masyarakat di masa yang akan datang. Dengan kata lain, bahwa kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki para lulusan PGTKI (calon guru TK Islam) harus menggambarkan nilai-nilai filosofis Islam yang tinggi dan trend-trend baru yang berkembang dalam masyarakat.
Di samping mengacu kepada hasil pemikiran yang bersifat filosofis dan kajian-kajian sosiologis di atas, secara teknis terdapat beberapa model untuk dapat merumuskan tujuan pendidikan yang feasible dan tepat. John D. McNeil mengemukakan terdapat tiga model yaitu model penilaian kebutuhan (needs assesment model), model rasional dari Ralph W. Tyler, dan model latihan. Dengan model penilaian kebutuhan, rumusan tujuan institusional (PGTKI) dikembangkan dengan didahului oleh penilaian tentang apa sebenarnya yang dibutuhkan dan dituntut oleh “masyarakat” dari seorang lulusan (guru TK Islam). Untuk itu perlu dilakukan penelitian empiris yang mendalam dengan menggali informasi dari berbagai pihak yang berkepentingan dengan pendidikan guru TK (stakeholders), seperti para orang tua mahasiswa, pemakai lulusan, masyarakat, para ahli dan pengamat pendidikan, dan juga para pengambil kebijakan dalam bidang pendidikan guru.
Model rasional mencoba mengkombinasikan antara rumusan tujuan hasil kajian teoritis dengan kajian lapangan yang bersifat empiris. Rumusan tujuan sebagai hasil dari kajian teoritis (deduktif) dikonsultasikan dengan sumber-sumber yang ada di lapangan (induktif). Para ahli kurikulum rasional biasanya menunjuk pada tiga sumber yaitu studi tentang siswa, studi tentang masyarakat dan kebudayaannya, dan pendapat para ahli bidang studi.
Sementara model latihan mencoba merumuskan tujuan pendidikan didasarkan atas kompetensi lulusan dalam melakukan suatu pekerjaan. Proses pengembangannya dilakukan dengan melakukan analisis tugas (task analysis). Model inilah yang dalam proses pengembangan kurikulum guru melahirkan konsep pendidikan guru berdasarkan kompetensi atau Competency Base Curriculum (CBC). Bila kita menggunakan model ini untuk mengembangkan tujuan kurikulum PGTKI, maka terlebih dahulu kita akan melakukan analisis tugas-tugas pokok yang harus dilakukan oleh setiap guru TK Islam. Setelah diperoleh serangkaian tugas pokok, analisis dilanjutkan dengan mengkaji pertanyaan, kompetensi-kompetensi apa saja yang harus dimiliki oleh para guru TK Islam untuk melaksanakan setiap tugas pokoknya. Bahkan analisis dilanjutkan sampai ditemukan sub-kompetensinya.
Sebagai contoh dengan mengacu pada landasan pikir di atas, dan dengan menggunakan model latihan, dapat dirumuskan tujuan dengan langkah-langkah berikut :
Tugas Pokok Guru TK
1. Melaksanakan pembelajaran yang mendidik yang sesuai dengan karakteristik anak usia TK,
2. Membimbing anak-anak untuk memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap yang sesuai dengan nilai-nilai ajaran agama islam,
3. Membimbing anak-anak untuk mengenal lingkungannya, baik fisik maupun sosial, dan mengaitkannya dengan keesaan dan kekuasaan Allah,
4. Memberi contoh / teladan dalam bersikap dan berperilaku islami,
5. Membina hubungan baik dengan berbagai pihak untuk kelancaran dan keberhasilan pendidikan di “sekolah”,
6. Mengembangkan diri secara terus menerus untuk meningkatkan profesionalismenya.
Mengingat pengembangan kurikulum dilakukan untuk tingkat kelembagaan (PGTKI), maka kurikulum yang dikembangkan disebut dengan kurikulum pada tingkat institusional. Dalam kurikulum pada tingkat ini tujuannya disebut dengan tujuan institusional. Di dalam rumusan tujuan ini akan tergambar kemampuan apa yang harus dimiliki oleh para mahasiswa pada saat mereka menyelesaikan pendidikannya di PGTKI tersebut.
Proses pengembangan tujuan institusional harus dilakukan secara hati-hati, dan harus mencakup kemampuan yang komprehensif. Karena komponen ini akan mempengaruhi pada pengembangan komponen lainnya. Dilihat dari isi, kemampuan yang tergambar dalam rumusan tujuan harus mencakup aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Artinya dalam rumusan tujuan itu harus terumuskan secara eksplisit pengetahuan-pengetahuan dan keterampilan apa saja yang harus dimiliki oleh para guru TK untuk melaksanakan tugasnya, mengajar. Demikian juga sikap yang bagaimana yang harus selalu ditunjukkan dalam gerak-gerik guru dalam kehidupannya sehari-hari, baik pada saat di rumah terutama di “sekolah”.
Bagaimana tujuan institusional dirumuskan ?
Agar mendapatkan rumusan tujuan yang baik, maka perumusan tujuan harus didasarkan pada kajian tentang landasan filosofis dan aspek-aspek sosiologis yang berkembang dalam masyarakat tempat kurikulum itu akan dilaksanakan. Landasan filosofis dalam pengembangan kurikulum akan memberi dasar yang kuat tentang manusia yang diharapkan dihasilkan melalui pendidikan. Kajian-kajian filosofis dilakukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan, misalnya, manusia yang bagaimanakah yang disebut manusia yang baik dan berguna; guru yang bagaimana yang dikategorikan sebagai guru yang baik; apa fungsi pendidikan (sekolah) bagi masyarakat, bagaimana kedudukan manusia di jagat raya ini, dan lain sebagainya. Karena kajian filosofis ini dilakukan untuk kepentingan dunia pendidikan, maka filsafat yang digunakannyapun tentunya filsafat pendidikan.
Banyak aliran filsafat pendidikan yang bersumber dari hasil pemikiran para filosof dari barat. Filsafat pendidikan esensialisme, perenialisme, progresivisme, dan rekonstruksionisme, adalah diantara filsafat-filsafat pendidikan yang cukup berpengaruh dalam dunia pendidikan. Namun karena kurikulum yang ingin kita kembangkan adalah kurikulum yang islami, maka filsafat yang dijadikan dasarnya juga harus bersumber pada nilai-nilai ajaran islam yang termuat dalam sumber utamanya yaitu quran dan hadist.
Beberapa falsafah Al-quran Al-Karim – sebagaimana dikemukakan oleh Dr. Mohamad Fadhil El-Jammaly (Sulaiman, 1986) – yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam merumuskan tujuan pendidikan adalah :
a. Al-quranul Karim memandang manusia dan jagat raya adalah sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan demikian juga dengan penciptanya.
b. Manusia merupakan perpaduan antara akal, emosi dan perbuatan.
c. Perkembangan manusia hendaknya meningkat dan menanjak ke arah cita-cita yang tinggi dan kehidupan yang ideal, yaitu kehidupan yang terpuji dan sempurna.
Beberapa falsafah di atas dirangkum menjadi ciri dan inti dari pendidikan Islam adalah usaha untuk mencapai ketinggian spiritual, moral, sosial, kreativitas, dan intelektual manusia. Berdasarkan pada falsafah ini beberapa ahli pendidikan Islam mencoba merumuskan tujuan pendidikan Islam yang bersifat umum. Prof. Mohd. Athiya El-Abrasyl dalam kajiannya tentang pendidikan Islam menyimpulkan lima tujuan yang asasi bagi pendidikan Islam, yaitu :
a. Untuk membantu pembentukan akhlak yang mulia,
b. Persiapan untuk kehidupan di dunia dan akhirat,
c. Persiapan untuk mencari rizki dan pemeliharaan segi-segi kemanfaatan,
d. Menumbuhkan roh ilmiah pada pelajar dan memuaskan keinginan arti untuk mengetahui dan memungkinkan ia mengkaji ilmu sekedar sebagai ilmu,
e. Menyiapkan pelajar dari segi profesional, teknis dan perusahaan (Al-Syaibani, 1979).
Sementara Imam Ghazaly menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah mengarahkan para siswa untuk mencapai dua tujuan, yaitu :
a. Insan purna yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah Swt.
b. Insan purna yang bertujuan mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat (Sulaiman, 1986).
Di samping membantu merumuskan tujuan secara filosofis dan masih bersifat umum, kajian filsafat ini juga akan membantu menetapkan peran lembaga pendidikan dalam konteks “kebudayaan” masyarakat. Apakah kita akan meletakkan lembaga pendidikan itu (PGTK) sebagai lembaga pengawet/pelestari/ pewaris “kebudayaan” masyarakat yang telah ditemukan dan berkembang, atau sebagai agen pembaharu (agent of change), atau bahkan kita akan mencoba memerankan kedua-duanya. Bila kita mencoba meletakkan peran lembaga pendidikan sebagai pengawet kebudayaan dan sekaligus sebagai agen pembaharu, maka kita pun harus mampu menentukan kebudayaan-kebudayaan mana yang memang harus tetap dipertahankan. Satu hal yang harus diperhatikan adalah apabila kita mempertahankan suatu kebudayaan jangan sampai menghambat untuk melaksanakan peran yang lain, yaitu sebagai agen pembaharu.
Sebagai agen pembaharu maka kampus akan menjadi motor perubahan untuk mengatasi kemandekan-kemandekan yang terjadi dalam masyarakat. Kampus harus menjadi lembaga penghasil “orang baru” yang akan melakukan perubahan-perubahan ke arah yang lebih baik. Dengan peran ini yang diperlukan oleh seorang mahasiswa bukan hanya penguasaan kemampuan yang bersifat kognitif, tetapi yang paling penting adalah tumbuhnya sikap dan keberanian untuk melakukan perubahan itu.
Selain mengacu pada pandangan-pandangan filosofis, proses perumusan tujuan juga harus memperhatikan kondisi masyarakat pada saat para mahasiswa lulus dan memasukinya. Hal ini penting mengingat pada saat mereka lulus mereka harus berkiprah dan berperan aktif dalam membangun masyarakatnya. Apabila kemampuan yang mereka miliki tidak sesuai dengan kondisi masyarakat maka mereka tidak akan mampu melakukan apa-apa, dan lahirlah apa yang disebut dengan para penganggur intelek.
Aspek-aspek yang harus mendapat perhatian dalam masyarakat diantaranya adalah tuntutan dunia kerja dengan berbagai persyaratannya, berbagai peluang dan tantangan/ancaman yang mungkin dihadapi, perubahan-perubahan dalam bidang iptek yang mempengaruhi sendi-sendi kehidupan masyarakat, pertumbuhan penduduk yang cepat, perubahan karakteristik masyarakat dari worker society menjadi employee society, dari masyarakat “proletariat” menjadi masyarakat “cognitariat” (Toffler) atau masyarakat belajar “learning society” (Peter M. Senge, 2000), dan terjadinya eksplosi informasi karena pengaruh perkembangan information technology (IT) yang sangat cepat yang didorong oleh perkembangan teknologi komunikasi dan komputer.
Melihat berbagai perubahan di atas, yang lebih penting adalah melihatnya pada dimensi waktu yang akan datang. Tepatnya saat dimana para lulusan memasuki dunianya. Sebagai contoh, bila saat ini kita akan mendidik calon guru TK dengan program diploma dua tahun, maka kita harus mempersiapkan mereka dengan berbagai kemampuan (pengetahuan, keterampilan, sikap, kreativitas, emosi, dan religi) yang diperlukan mereka dalam menghadapi berbagai kondisi di atas yang akan terjadi pada tahun 2003. Dilihat dari aspek “peluang dan tantangan/ ancaman”, misalnya. Sebagaimana kita ketahui pada tahun 2003 mulai diberlakukan AFTA. Ini berarti disatu sisi mereka akan memiliki peluang yang sangat luas untuk mendapatkan pekerjaan dengan pengahasilan yang lebih besar, karena wilayah untuk mendapatkan pekerjaan tersebut semakin luas, bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di negara-negara anggota AFTA lainnya, seperti Malaysia, Singapura, Brunei atau Filipina. Namun di sisi lain, kondisi ini justru menjadi tantangan dan sekaligus ancaman bagi mereka untuk mendapatkan pekerjaan, karena pada saat itu para pekerja (guru) dari negara anggota AFTA juga dapat dengan leluasa memasuki pasaran kerja di Indonesia. Di sini akan terjadi persaingan yang ketat, dan kita tahu akhirnya hanya mereka yang berkualitaslah yang akan memenangkan persaingan itu. Dengan kata lain bagaimana kita menyiapkan para guru TK kita yang berkualitas dan mampu bersaing dengan para guru dari negara anggota AFTA lainnya.
Jawaban atas pertanyaan di atas, dan dengan mengacu pada kajian-kajian di atas, maka dirumuskanlah Visi, Misi, dan Tujuan dari lembaga pendidikan guru TK. Visi adalah cita-cita akhir yang diharapkan akan tercapai di masa depan yang jauh, yang sesuai dengan atau merupakan suatu pandangan hidup, atau bagian dari pandangan hidup (Tampubolon, 2000). Pengertian ini sejalan dengan pendapat Jansen H. Sinamo (1998) yang mengatakan visi adalah apa yang kita dambakan – dalam hal ini secara organisasional – untuk kita miliki atau peroleh di masa depan (what do we want to have). Sementara misi adalah tugas pokok yang akan dilaksanakan untuk merealisasi visi (Tampubolon, 2000). Sementara Sinamo menyatakan misi adalah dambaan tentang kita ini ingin menjadi apa di masa depan (what do we want to be).
Pertanyaan selanjutnya adalah apa dan bagaimana merumuskan tujuan pendidikan guru TK ?
Secara umum dapat dikatakan bahwa rumusan tujuan pendidikan TK harus memperhatikan pemikiran-pemikiran filosofis para filosof Islam dan berbagai kecenderungan perubahan masyarakat di masa yang akan datang. Dengan kata lain, bahwa kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki para lulusan PGTKI (calon guru TK Islam) harus menggambarkan nilai-nilai filosofis Islam yang tinggi dan trend-trend baru yang berkembang dalam masyarakat.
Di samping mengacu kepada hasil pemikiran yang bersifat filosofis dan kajian-kajian sosiologis di atas, secara teknis terdapat beberapa model untuk dapat merumuskan tujuan pendidikan yang feasible dan tepat. John D. McNeil mengemukakan terdapat tiga model yaitu model penilaian kebutuhan (needs assesment model), model rasional dari Ralph W. Tyler, dan model latihan. Dengan model penilaian kebutuhan, rumusan tujuan institusional (PGTKI) dikembangkan dengan didahului oleh penilaian tentang apa sebenarnya yang dibutuhkan dan dituntut oleh “masyarakat” dari seorang lulusan (guru TK Islam). Untuk itu perlu dilakukan penelitian empiris yang mendalam dengan menggali informasi dari berbagai pihak yang berkepentingan dengan pendidikan guru TK (stakeholders), seperti para orang tua mahasiswa, pemakai lulusan, masyarakat, para ahli dan pengamat pendidikan, dan juga para pengambil kebijakan dalam bidang pendidikan guru.
Model rasional mencoba mengkombinasikan antara rumusan tujuan hasil kajian teoritis dengan kajian lapangan yang bersifat empiris. Rumusan tujuan sebagai hasil dari kajian teoritis (deduktif) dikonsultasikan dengan sumber-sumber yang ada di lapangan (induktif). Para ahli kurikulum rasional biasanya menunjuk pada tiga sumber yaitu studi tentang siswa, studi tentang masyarakat dan kebudayaannya, dan pendapat para ahli bidang studi.
Sementara model latihan mencoba merumuskan tujuan pendidikan didasarkan atas kompetensi lulusan dalam melakukan suatu pekerjaan. Proses pengembangannya dilakukan dengan melakukan analisis tugas (task analysis). Model inilah yang dalam proses pengembangan kurikulum guru melahirkan konsep pendidikan guru berdasarkan kompetensi atau Competency Base Curriculum (CBC). Bila kita menggunakan model ini untuk mengembangkan tujuan kurikulum PGTKI, maka terlebih dahulu kita akan melakukan analisis tugas-tugas pokok yang harus dilakukan oleh setiap guru TK Islam. Setelah diperoleh serangkaian tugas pokok, analisis dilanjutkan dengan mengkaji pertanyaan, kompetensi-kompetensi apa saja yang harus dimiliki oleh para guru TK Islam untuk melaksanakan setiap tugas pokoknya. Bahkan analisis dilanjutkan sampai ditemukan sub-kompetensinya.
Sebagai contoh dengan mengacu pada landasan pikir di atas, dan dengan menggunakan model latihan, dapat dirumuskan tujuan dengan langkah-langkah berikut :
Tugas Pokok Guru TK
1. Melaksanakan pembelajaran yang mendidik yang sesuai dengan karakteristik anak usia TK,
2. Membimbing anak-anak untuk memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap yang sesuai dengan nilai-nilai ajaran agama islam,
3. Membimbing anak-anak untuk mengenal lingkungannya, baik fisik maupun sosial, dan mengaitkannya dengan keesaan dan kekuasaan Allah,
4. Memberi contoh / teladan dalam bersikap dan berperilaku islami,
5. Membina hubungan baik dengan berbagai pihak untuk kelancaran dan keberhasilan pendidikan di “sekolah”,
6. Mengembangkan diri secara terus menerus untuk meningkatkan profesionalismenya.
Kompetensi yang diperlukan untuk melaksanakan tugas :
1. Melaksanakan pembelajaran sesuai dengan karakteristik anak usia TK,
Memahami karakteristik anak usia TK,
Menguasai program pembelajaran yang telah ditetapkan untuk anak TK,
Mampu membuat perencanaan pembelajaran untuk anak usia TK,
Menguasai materi / topik / tema pembelajaran di TK
Menguasai berbagai strategi pembelajaran yang menarik bagi anak usia TK,
Mampu memilih, merencanakan, membuat, dan menggunakan media pembelajaran bagi anak usia TK,
Mampu mengembangkan, melaksanakan, dan melaporkan hasil evaluasi perkembangan anak.
2. Membimbing anak untuk memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap yang sesuai dengan nilai-nilai ajaran agama Islam.
Memiliki pengetahuan yang memadai tentang nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agama Islam,
Menguasai metode / strategi yang tepat dalam menyampaikan dan menanamkan nilai-nilai ajaran agama Islam kepada anak usia TK,
1. Melaksanakan pembelajaran sesuai dengan karakteristik anak usia TK,
Memahami karakteristik anak usia TK,
Menguasai program pembelajaran yang telah ditetapkan untuk anak TK,
Mampu membuat perencanaan pembelajaran untuk anak usia TK,
Menguasai materi / topik / tema pembelajaran di TK
Menguasai berbagai strategi pembelajaran yang menarik bagi anak usia TK,
Mampu memilih, merencanakan, membuat, dan menggunakan media pembelajaran bagi anak usia TK,
Mampu mengembangkan, melaksanakan, dan melaporkan hasil evaluasi perkembangan anak.
2. Membimbing anak untuk memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap yang sesuai dengan nilai-nilai ajaran agama Islam.
Memiliki pengetahuan yang memadai tentang nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agama Islam,
Menguasai metode / strategi yang tepat dalam menyampaikan dan menanamkan nilai-nilai ajaran agama Islam kepada anak usia TK,
2. Pengembangan Isi / Bahan Kurikulum PGTKI
Komponen materi dalam konteks kurikulum institusional adalah bidang-bidang kajian dan berbagai pengalaman belajar yang harus dipelajari dan dialami oleh para mahasiswa untuk menguasai seluruh kompetensi yang telah dijabarkan ke dalam rumusan tujuan institusional. Komponen ini boleh dikatakan “jiwa” atau “roh” dari sebuah kurikulum. Tanpa komponen ini tidak ada yang namanya kurikulum. Namun demikian dengan menggunakan pendekatan sistem, penentuan setiap bidang kajian dan bebagai pengalaman yang akan disajikan kepada para mahasiswa tetap harus mengacu pada tujuan institusional. Materi tidak boleh lepas dari tujuan. Karena itulah pada saat penulis diminta melakukan peninjauan konten kurikulum PGTKI, mengalami kesulitan bila tanpa terlebih dulu melakukan kajian terhadap tujuannya.
Secara teoritis, apa yang akan menjadi isi kurikulum adalah sama dengan apa yang dirumuskan dalam tujuan. Di atas telah dijelaskan bahwa untuk menentukan dan mengembangkan materi / isi harus mengacu pada tujuan. Karena itulah kajian tentang apa yang menjadi isi suatu kurikulum dan dari mana diperolehnya, sama dengan pada saat akan merumuskan tujuan. Namun di samping itu, ada tiga hal penting yang harus diperhatikan dalam mengembangkan materi / isi kurikulum, yaitu masyarakat dan kebudayaannya, anak, dan pengetahuan (Nasution, 1988).
Untuk memudahkan kita dalam mengembangkan materi / isi kurikulum, langkah yang paling mudah adalah dengan menganalisis tujuan yang telah dirumuskan sebelumnya. Pertanyaan yang harus dijawab adalah pengalaman belajar apa yang harus dijalani, atau hal-hal apa saja yang harus dipelajari oleh mahasiswa untuk dapat menguasai tujuan atau kompetensi tersebut.
Dengan mengacu pada tugas dan kompetensi di atas, maka bidang-bidang kajian yang harus dipelajari para mahasiswa PGTKI adalah kajian tentang :
1. Karakteristik anak usia TK dengan berbagai permasalahan dan cara pemecahannya,
2. Program pembelajaran di TK,
3. Subjek matter yang diajarkan bagi anak usia TK,
4. Lingkungan hidup anak usia TK, baik fisik maupun sosial,
5. Berbagai perencanaan pembelajaran yang mungkin dilaksanakan di TK,
6. Proses pengelolaan pembelajaran bagi anak usia TK,
7. Proses perencanaan, pembuatan dan penggunaan media pembelajaran di TK,
8. Proses perencanaan, dan pelaksanaan evaluasi serta teknik pelaporannya,
9. Kajian tentang aqidah dan akhlak (etika) dalam ajaran agama Islam,
10. Metodologi pembelajaran aqidah akhlak bagi anak usia TK,
11. Teknik berkomunikasi / berbahasa (Indonesia dan asing),
12. Teknik pengembangan diri (personal dan profesional).
Berbagai bidang kajian di atas, bukan nama mata kuliah. Sehingga dalam satu bidang kajian bisa dikembangkan satu atau lebih mata kuliah. Sebaliknya, bisa saja dua atau lebih bidang kajian dibahas dalam satu mata kuliah. Lebih jauh bisa saja terjadi suatu bidang kajian tidak perlu dibahas dalam satu mata kuliah tersendiri, tetapi diintegrasikan ke dalam semua mata kuliah. Pengembangan bidang kajian menjadi satu atau lebih mata kuliah atau beberapa bidang kajian digabung menjadi satu mata kuliah, sangat bergantung pada tingkat keluasan dan kedalaman dan sifat bidang kajian tersebut. Ini juga akan sangat berpengaruh terhadap jumlah beban studi (SKS) pada masing-masing mata kuliah.
Di samping mengkaji berbagai bidang kajian di atas, berbagai pengalaman belajar langsung yang bersifat praktis juga harus dipersiapkan untuk mencapai berbagai kompetensi di atas. Program-program ko dan ekstra kurikuler yang bersifat menunjang dan memperkaya khasanah pengalaman belajar anak harus dikembangkan secara kreatif.
Komponen materi dalam konteks kurikulum institusional adalah bidang-bidang kajian dan berbagai pengalaman belajar yang harus dipelajari dan dialami oleh para mahasiswa untuk menguasai seluruh kompetensi yang telah dijabarkan ke dalam rumusan tujuan institusional. Komponen ini boleh dikatakan “jiwa” atau “roh” dari sebuah kurikulum. Tanpa komponen ini tidak ada yang namanya kurikulum. Namun demikian dengan menggunakan pendekatan sistem, penentuan setiap bidang kajian dan bebagai pengalaman yang akan disajikan kepada para mahasiswa tetap harus mengacu pada tujuan institusional. Materi tidak boleh lepas dari tujuan. Karena itulah pada saat penulis diminta melakukan peninjauan konten kurikulum PGTKI, mengalami kesulitan bila tanpa terlebih dulu melakukan kajian terhadap tujuannya.
Secara teoritis, apa yang akan menjadi isi kurikulum adalah sama dengan apa yang dirumuskan dalam tujuan. Di atas telah dijelaskan bahwa untuk menentukan dan mengembangkan materi / isi harus mengacu pada tujuan. Karena itulah kajian tentang apa yang menjadi isi suatu kurikulum dan dari mana diperolehnya, sama dengan pada saat akan merumuskan tujuan. Namun di samping itu, ada tiga hal penting yang harus diperhatikan dalam mengembangkan materi / isi kurikulum, yaitu masyarakat dan kebudayaannya, anak, dan pengetahuan (Nasution, 1988).
Untuk memudahkan kita dalam mengembangkan materi / isi kurikulum, langkah yang paling mudah adalah dengan menganalisis tujuan yang telah dirumuskan sebelumnya. Pertanyaan yang harus dijawab adalah pengalaman belajar apa yang harus dijalani, atau hal-hal apa saja yang harus dipelajari oleh mahasiswa untuk dapat menguasai tujuan atau kompetensi tersebut.
Dengan mengacu pada tugas dan kompetensi di atas, maka bidang-bidang kajian yang harus dipelajari para mahasiswa PGTKI adalah kajian tentang :
1. Karakteristik anak usia TK dengan berbagai permasalahan dan cara pemecahannya,
2. Program pembelajaran di TK,
3. Subjek matter yang diajarkan bagi anak usia TK,
4. Lingkungan hidup anak usia TK, baik fisik maupun sosial,
5. Berbagai perencanaan pembelajaran yang mungkin dilaksanakan di TK,
6. Proses pengelolaan pembelajaran bagi anak usia TK,
7. Proses perencanaan, pembuatan dan penggunaan media pembelajaran di TK,
8. Proses perencanaan, dan pelaksanaan evaluasi serta teknik pelaporannya,
9. Kajian tentang aqidah dan akhlak (etika) dalam ajaran agama Islam,
10. Metodologi pembelajaran aqidah akhlak bagi anak usia TK,
11. Teknik berkomunikasi / berbahasa (Indonesia dan asing),
12. Teknik pengembangan diri (personal dan profesional).
Berbagai bidang kajian di atas, bukan nama mata kuliah. Sehingga dalam satu bidang kajian bisa dikembangkan satu atau lebih mata kuliah. Sebaliknya, bisa saja dua atau lebih bidang kajian dibahas dalam satu mata kuliah. Lebih jauh bisa saja terjadi suatu bidang kajian tidak perlu dibahas dalam satu mata kuliah tersendiri, tetapi diintegrasikan ke dalam semua mata kuliah. Pengembangan bidang kajian menjadi satu atau lebih mata kuliah atau beberapa bidang kajian digabung menjadi satu mata kuliah, sangat bergantung pada tingkat keluasan dan kedalaman dan sifat bidang kajian tersebut. Ini juga akan sangat berpengaruh terhadap jumlah beban studi (SKS) pada masing-masing mata kuliah.
Di samping mengkaji berbagai bidang kajian di atas, berbagai pengalaman belajar langsung yang bersifat praktis juga harus dipersiapkan untuk mencapai berbagai kompetensi di atas. Program-program ko dan ekstra kurikuler yang bersifat menunjang dan memperkaya khasanah pengalaman belajar anak harus dikembangkan secara kreatif.
3. Pengembangan Strategi dan Organisasi Kurikulum PGTKI
Sesuai dengan jenis dan jenjang pendidikan PGTKI sebagai lembaga pendidikan tenaga kependidikan program diploma, maka berbagai pengalaman dan kegiatan belajar yang dialami mahasiswa hendaknya diarahkan dan dilaksanakan mengarah pada penguasaan kemampuan yang bersifat praktis profesional. Karena itu berbagai bidang kajian di atas harus diorganisasi dalam bentuk mata kuliah yang lebih praktis dan tidak terlalu teoritis. Dalam hal ini bukan berarti kajian-kajian yang bersifat teoritis tidak diperlukan, tetap diperlukan, namun apabila itu dilakukan pembahasannya harus sampai pada tahap aplikasi, dan tidak berhenti hanya pada tahap pengetahuan, sehingga para mahasiswa mendapatkan pengalaman belajar yang lebih nyata. Dalam kaitan ini penulis memperkirakan komposisi materi kuliah antara teori dan praktek adalah 30 : 70.
Dengan komposisi materi perkuliahan seperti di atas, diharapkan perkuliahan dan pengalaman belajar yang dialami mahasiswa tidak hanya sebatas pada mendengar dan melihat, tetapi sampai pada melakukannya. Hal ini penting mengingat di dalam kehidupan nyata – pada saat mereka melaksanakan tugasnya, mengajar – yang mereka harus lakukan bukan hanya sekedar mengingat kembali apa yang telah dipelajari tetapi yang penting adalah bagaimana melaksanakannya. Aktivitas seperti ini sesuai dengan ungkapan Cina Kuno : When I hear, I forget. When I see, I remember. When I do, I understand (Tilaar, 2001).
Untuk bidang kajian yang pengkajiannya dapat dilakukan secara interdisipliner hendaknya dilaksanakan secara terintegrasi. Artinya bidang kajian tersebut dimasukkan ke dalam setiap mata kuliah yang relevan dan semua dosen yang membina mata kuliah tersebut berkewajiban untuk ikut mengkajinya dengan pandangan disiplin ilmunya masing-masing.
Di samping kegiatan perkuliahan yang bersifat intrakurikuler, mahasiswa juga harus banyak diberi kesempatan untuk melaksanakan kegiatan ko dan ekstra kurikuler. Kegiatan-kegiatan kokurikuler yang diberikan bukan hanya berupa pekerjaan rumah (PR) yang bersifat pengkajian kepustakaan, tetapi berupa tugas untuk terjun ke “lapangan” atau TK untuk melaksanakan observasi. Setiap dosen dapat memberikan tugas ini sesuai dengan mata kuliahnya masing-masing dan meminta mahasiswa untuk melaporkannya. Melalui strategi ini mahasiswa memiliki banyak kesempatan untuk berinteraksi langsung dengan lingkungan yang akan dimasukinya, sehingga wawasannya akan lebih luas, beragam, dan praktis. Hal ini sesuai dengan teori proksimitas yang dikemukakan oleh Lev Vygotsky yang menyatakan bahwa perkembangan seorang individu tidak terlepas dari interaksinya dengan lingkungannya (Tilaar, 2001).
Terkait juga dengan ungkapan Cina Kuno di atas, maka interaksi yang dilakukan mahasiswa di TK jangan hanya sebatas mengamati, tetapi juga harus sampai pada melakukan. Karena itu program-program magang dan praktek pengalaman lapangan harus dirancang secara sitematis dan terencana dengan baik. Pembinaan dan pembimbingan terhadap para mahasiswa juga harus lakukan secara intensif, sehingga interaksi mereka dengan lingkungannya menjadi benar-benar bermakna.
Untuk mencapai tujuan pendidikan di atas, di samping melalui kegiatan intra dan kokurikuler, juga hendaknya dilengkapi dengan kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler. Melalui kegiatan ini seringkali mahasiswa mendapatkan pengalaman-pengalaman belajar yang tidak pernah dibahas dan tidak pernah ditemukan di dalam “kelas”. Untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasi, pengembangan kepribadian, kepemimpinan, toleransi, dan berbagai sikap lain dapat dikembangkan melalui kegiatan ini.
Sesuai dengan jenis dan jenjang pendidikan PGTKI sebagai lembaga pendidikan tenaga kependidikan program diploma, maka berbagai pengalaman dan kegiatan belajar yang dialami mahasiswa hendaknya diarahkan dan dilaksanakan mengarah pada penguasaan kemampuan yang bersifat praktis profesional. Karena itu berbagai bidang kajian di atas harus diorganisasi dalam bentuk mata kuliah yang lebih praktis dan tidak terlalu teoritis. Dalam hal ini bukan berarti kajian-kajian yang bersifat teoritis tidak diperlukan, tetap diperlukan, namun apabila itu dilakukan pembahasannya harus sampai pada tahap aplikasi, dan tidak berhenti hanya pada tahap pengetahuan, sehingga para mahasiswa mendapatkan pengalaman belajar yang lebih nyata. Dalam kaitan ini penulis memperkirakan komposisi materi kuliah antara teori dan praktek adalah 30 : 70.
Dengan komposisi materi perkuliahan seperti di atas, diharapkan perkuliahan dan pengalaman belajar yang dialami mahasiswa tidak hanya sebatas pada mendengar dan melihat, tetapi sampai pada melakukannya. Hal ini penting mengingat di dalam kehidupan nyata – pada saat mereka melaksanakan tugasnya, mengajar – yang mereka harus lakukan bukan hanya sekedar mengingat kembali apa yang telah dipelajari tetapi yang penting adalah bagaimana melaksanakannya. Aktivitas seperti ini sesuai dengan ungkapan Cina Kuno : When I hear, I forget. When I see, I remember. When I do, I understand (Tilaar, 2001).
Untuk bidang kajian yang pengkajiannya dapat dilakukan secara interdisipliner hendaknya dilaksanakan secara terintegrasi. Artinya bidang kajian tersebut dimasukkan ke dalam setiap mata kuliah yang relevan dan semua dosen yang membina mata kuliah tersebut berkewajiban untuk ikut mengkajinya dengan pandangan disiplin ilmunya masing-masing.
Di samping kegiatan perkuliahan yang bersifat intrakurikuler, mahasiswa juga harus banyak diberi kesempatan untuk melaksanakan kegiatan ko dan ekstra kurikuler. Kegiatan-kegiatan kokurikuler yang diberikan bukan hanya berupa pekerjaan rumah (PR) yang bersifat pengkajian kepustakaan, tetapi berupa tugas untuk terjun ke “lapangan” atau TK untuk melaksanakan observasi. Setiap dosen dapat memberikan tugas ini sesuai dengan mata kuliahnya masing-masing dan meminta mahasiswa untuk melaporkannya. Melalui strategi ini mahasiswa memiliki banyak kesempatan untuk berinteraksi langsung dengan lingkungan yang akan dimasukinya, sehingga wawasannya akan lebih luas, beragam, dan praktis. Hal ini sesuai dengan teori proksimitas yang dikemukakan oleh Lev Vygotsky yang menyatakan bahwa perkembangan seorang individu tidak terlepas dari interaksinya dengan lingkungannya (Tilaar, 2001).
Terkait juga dengan ungkapan Cina Kuno di atas, maka interaksi yang dilakukan mahasiswa di TK jangan hanya sebatas mengamati, tetapi juga harus sampai pada melakukan. Karena itu program-program magang dan praktek pengalaman lapangan harus dirancang secara sitematis dan terencana dengan baik. Pembinaan dan pembimbingan terhadap para mahasiswa juga harus lakukan secara intensif, sehingga interaksi mereka dengan lingkungannya menjadi benar-benar bermakna.
Untuk mencapai tujuan pendidikan di atas, di samping melalui kegiatan intra dan kokurikuler, juga hendaknya dilengkapi dengan kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler. Melalui kegiatan ini seringkali mahasiswa mendapatkan pengalaman-pengalaman belajar yang tidak pernah dibahas dan tidak pernah ditemukan di dalam “kelas”. Untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasi, pengembangan kepribadian, kepemimpinan, toleransi, dan berbagai sikap lain dapat dikembangkan melalui kegiatan ini.
3. Pelaksanaan Evaluasi
Untuk mengukur tingkat pencapaian tujuan perlu dilakukan evaluasi. Mengingat tujuan institusional yang ingin dicapai sangat luas maka evaluasi yang dilakukan juga harus komprehensif. Artinya proses evaluasi terhadap perkembangan mahasiswa bukan hanya didasarkan pada penguasaan pengetahuan yang bersifat kognitif, tetapi juga pada aspek psikomotorik dan terutama aspek sikap dan kepribadian.
Evaluasi hendaknya dilakukan baik terhadap proses maupun hasil. Evaluasi terhadap proses berlangsung selama mahasiswa berada di kampus, baik pada saat di dalam maupun di luar kelas. Sementara evaluasi hasil dilakukan minimal dua kali dalam satu semester, yaitu pada tengah dan akhir semester.
Untuk mengukur tingkat pencapaian tujuan perlu dilakukan evaluasi. Mengingat tujuan institusional yang ingin dicapai sangat luas maka evaluasi yang dilakukan juga harus komprehensif. Artinya proses evaluasi terhadap perkembangan mahasiswa bukan hanya didasarkan pada penguasaan pengetahuan yang bersifat kognitif, tetapi juga pada aspek psikomotorik dan terutama aspek sikap dan kepribadian.
Evaluasi hendaknya dilakukan baik terhadap proses maupun hasil. Evaluasi terhadap proses berlangsung selama mahasiswa berada di kampus, baik pada saat di dalam maupun di luar kelas. Sementara evaluasi hasil dilakukan minimal dua kali dalam satu semester, yaitu pada tengah dan akhir semester.
D. Penutup
Demikianlah beberapa pemikiran sederhana yang dapat penulis sampaikan dalam curah pendapat ini. Mudah-mudahan ada manfaatnya bagi kita semua. Terima kasih.
Demikianlah beberapa pemikiran sederhana yang dapat penulis sampaikan dalam curah pendapat ini. Mudah-mudahan ada manfaatnya bagi kita semua. Terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Syaibany, Omar Muhammad Al-Toumy. (1979). Falsafah Pendidikan Islam. (Alih Bahasa : Hasan Langgulung). Jakarta: Bulan Bintang.
Al-Syaibany, Omar Muhammad Al-Toumy. (1979). Falsafah Pendidikan Islam. (Alih Bahasa : Hasan Langgulung). Jakarta: Bulan Bintang.
H.A.R. Tilaar. (2001). Membangunkan Sibernasi Ilmu Pendidikan Dalam Era Reformasi: Peran Universitas Negeri Jakarta. Jakarta: UNJ.
Fathiyah Hasan Sulaiman. (1986). Sistim Pendidikan Versi Al-Ghazaly. (Alih Bahasa: Fathur Rahman May, Syamsudin Asyrafi). Bandung: PT Alma’arif.
Khaerudin. (1998). Visi, Misi, dan Strategi Pendidikan TK Memasuki Abad XXI. Orasi ilmiah pada Wisuda PGTK Citra Didaktika, 8 Agustus 1998
(1997). Survey Karakteristik Guru Taman Kanak-kanak di Wilayah DKI Jakarta. Hasil Penelitian, Lemlit IKIP Jakarta.
Nasution, S. (1988). Pengembangan Kurikulum. Bandung: Penerbit Alumni.
McNeil, John D. (1977). Curriculum A Comprehensive Introduction. Boston: Little, Brown and Comp.
Print, Murray. (1993). Curriculum Development and Design (Second Edition). NSW: Allen & Unwin Pty. Ltd.
Sinamo, Jansen H. (1998). “Menciptakan Visi Motivatif”. Manajemen, Agustus 1998
Tampubolon, D.P. Pokok-pokok Perencanaan Strategis Perguruan Tinggi Untuk Mutu. Jakarta: UNJ
Popularity: 11%
subner : http://www.ilmupendidikan.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar